Selasa, 06 Maret 2012

our 2.0 App and Web Source

Widgia.com is the number one source for, website widgets, 2.0 sites, gadgets, apps, plugins, hacks, startups and hot trends. Widgia provide you with the latest 2.0 needs for your website, blog, social space, smartphone, browser or computer.
Our newest creation is the 2011 Halloween countdown clock.


A Widget is a fancy new defined term, referring to a mini internet application that is offered by a 3rd party. Widgets can easily be integrated in a web page, blog or profile by inserting a small chunk of code that will be offered you at the site of your chosen Widget. This is not a new development webmasters be using widgets things like, placing scripts & banners on webpages since the beginning of the worldwide web.
The benefits of widgets is that, everybody can use content without knowing anything of progamming such as DHTML, Java, Flash or software programming.
How to place Widgia widgets on your profile space, blog or website.
1-First click the ”Get this widget” button under the widget you want to place on your profile space, blog or website.

2 – A popup window will apear, it look like the picture below. Choose your option, we use a sample of blogspot.

You also can copy the embed code ( bleu arrow) and paste it into your profile space, blog or website.
3 - In this case we use our widgia blog from Google blogspot, enter your username and password and click post.

4 – Now the widget will apear on our blog, see it live here, that’s it!

There are 3 type of widgets
1 Web Widgets
Webwidgets can easy be used on webpages, blogs or profilepages, by simply copy a code. Most Widgets have a button option so you can place a widget by a click of a button on your content page. Some web widget platforms are, Widgetbox , Widgiland
2 Desktop Widgets
Desktop widgets are basically the same as web widgets the difference is that you can download it on your desktop some desktop providers are , Dashboard widgets of Apple Macintosh or Yahoo widgets.
Widgets are downloadable interactive virtual tools that provide services such as showing the user the latest news, the current weather, the time, a calendar, a dictionary, a map program, a calculator, desktop notes, photo viewers, or even a language translator, among other things.
3 Mobile Widgets
Mobile widgets ( cellular widgets) are special made to fit on a screen of a mobile phone. Mobile users can use widgets exact the same way as web & desktop widgets, for example weather widgets, game widgets, news widgets, chat widgets and many many more.
Widgia Article

So What Are Widgets?
The word widgets is becoming used more and more as it is accepted in today’s vernacular. But just what is a widget? Let’s take a look. Once you know what a widget is you will be amazed at how useful they are.
A widget is a small tool that you put on your website or any type of social profile like your MySpace or FaceBook. They can do things like provide instant stock quotes, make small calculations or provide simple games to the user. These are essential to adding interactivity and entertainment to any site. These widgets are put out by numerous sites online. It’s often too hard to keep track of what site just put out what widgets, and adding them can often be a nightmare. Enter Widgia.
There is a great site that does the best possible job to keep track of new widgets that are released and make it easy for you to add them to your site or social profile. If you’re looking for widgets, you have to check out Widgia. Great name right? Widgia keeps tabs on the latest and hottest widgets that are released. They have all kinds of widgets like clocks, games, quotes and jokes. Even some for your desktop and cell phone. Widgia makes it so easy to add their great widgets to your site. It takes only two clicks most of the time. No complicated code to mess with! If you’re looking to spruce up your social profile, you have to check out what Widgia has to offer!
Widgia is proud to be supported by Gigya, who’ve specialized in: <a href=”http://www.gigya.com/” target”_blank”> Social Media for Business</

lucu

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Alangkah Lucunya (Negeri Ini)
Sutradara Deddy Mizwar
Produser Zairin Zain
Penulis Musfar Yasin
Pemeran Reza Rahadian
Deddy Mizwar
Slamet Rahardjo
Jaja Mihardja
Tio Pakusadewo
Asrul Dahlan
Ratu Tika Bravani
Rina Hasyim
Sakurta Ginting
Sonia
Teuku Edwin
Sinematografi Yudi Datau
Distributor Citra Sinema
Tanggal rilis 15 April 2010
Durasi 105 menit
Negara Indonesia
Penghargaan
Festival Film Indonesia 2010
  • Skenario Adaptasi Terbaik : Musfar Yasin
  • Tata Suara Terbaik : Adityawan Susanto dan Novi Dwi R.Nugroho
  • Tata Musik Terbaik : Ian Antono dan Thoersi Argeswara
Alangkah Lucunya (Negeri Ini) merupakan film drama komedi satire Indonesia yang dirilis pada 15 April 2010 yang disutradarai oleh Deddy Mizwar. Film ini dibintangi antara lain oleh Reza Rahadian dan Deddy Mizwar.
Film ini mencoba mengangkat potret nyata yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia.[1] Film ini juga dipenuhi bintang film Indonesia, tercatat ada sembilan nama peraih piala citra yang berkolaborasi secara sempurna untuk menyajikan tontonan yang berkualitas. Slamet Rahardjo, Deddy Mizwar, Tio Pakusadewo, dan Rina Hasyim.[1]

Daftar isi

 [sembunyikan

[sunting] Sinopsis

Sejak lulus S1, hampir 2 tahun Muluk belum mendapatkan pekerjaan. Meskipun selalu gagal tetapi Muluk tidak pernah berputus asa. Pertemuan dengan pencopet bernama Komet tak disangka membuka peluang pekerjaan bagi Muluk. Komet membawa Muluk ke markasnya, lalu memperkenalkan kepada bosnya bernama Jarot. Muluk kaget karena di markas itu berkumpul anak-anak seusia Komet yang pekerjannya adalah mencopet.
Akal Muluk berputar dan melihat peluang yang ia tawarkan kepada Jarot. Ia meyakinkan Jarot bahwa ia dapat mengelola keuangan mereka, dan meminta imbalan 10% dari hasil mencopet, termasuk biaya mendidik mereka.
“Usaha yang dikelola Muluk berbuah, namun di hati kecilnya tergerak niat untuk mengarahkan para pencopet agar mau mengubah profesi mereka. DIbantu dua rekannya yang juga sarjana, Muluk membagi tugas mereka untuk mengajar agama, budi pekerti dan kewarganegaraan.[2]

[sunting] Produksi

Film ini mengangkat kenyataan sosial yang terjadi di Indonesia mulai dari masalah pengangguran hingga tindakan sewenang-wenang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terhadap anak-anak jalanan.[3][4]

[sunting] Referensi

  1. ^ a b Alangkah Lucunya (negeri ini): Negeri Para Pencopet, diakses pada 2 Juli 2010.
  2. ^ Laman Alangkah Lucunya (Negeri Ini), diakses pada 15 Maret 2010
  3. ^ "Alangkah Lucunya (negeri ini)", diakses pada 2 Juli 2010
  4. ^ Alangkah Lucunya (negeri ini), Refleksi Realita Sosial, diakses pada 2 Juli 2010

[sunting] Pranala luar

film horor

Film horor

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk film horor-komedi tahun 2007 dengan judul yang sama, lihat Film Horor (film).
Film horor adalah film yang berusaha untuk memancing emosi berupa ketakutan dan rasa ngeri dari penontonnya. Alur cerita mereka sering melibatkan tema-tema kematian, supranatural, atau penyakit mental. Banyak cerita film horor yang berpusat pada sebuah tokoh antagonis tertentu yang jahat.

Daftar isi

 [sembunyikan

[sunting] Latar belakang

Sebelum Perang Dunia II, film horor sebagian besar dibuat berdasarkan dari karya-karya sastra klasik bertema gotik / horor dari negara-negara Barat, seperti Drakula (1931), Frankenstein (1931), The Phantom of the Opera (1925), dan Dr Jekyll and Mr. Hyde (1941).
Dalam dunia perfilman yang lebih baru, film horor sering menarik inspirasi dari kegelisahan hidup yang timbul setelah Perang Dunia II, sehingga terciptalah tiga sub-ragam yang berbeda namun saling berhubungan di Amerika Serikat dimana industri film horor berkembang sangat pesat. Ketiga sub-ragam tersebut adalah: horor-kepribadian seperti film Psycho (1960), horor-kiamat seperti film Invasion of The Body Snatchers (1956), dan horor-setan seperti film The Exorcist (1973). Dari sudut pandang industri film horor Amerika, sub-ragam yang terakhir dapat dilihat sebagai transisi modern dari film horor lama, dimana penekanan pada agen-agen supranatural yang membawa kengerian bagi dunia semakin diutamakan. [1]
Film horor umumnya telah diasosiasikan dengan kekerasan, anggaran yang rendah (B film), dan eksploitasi. Namun nyatanya banyak sutradara film dari Amerika yang terkenal dan dihormati seperti Alfred Hitchcock, Roman Polanski, Stanley Kubrick, John Carpenter, William Friedkin, Richard Donner, dan Francis Ford Coppola telah menggarap setidaknya satu judul film dalam ragam yang unik ini. Para kritikus film horor kebanyakan menganalisa film ragam ini dari sudut pandang teori ragam dan teori auteur.
Beberapa film horor memasukkan unsur-unsur ragam lain seperti fiksi ilmiah, fantasi, mockumentary, komedi hitam, dan cerita getaran, yang menciptakan sebuah perpaduan atau sub-ragam yang baru.

[sunting] Sejarah film horor

[sunting] 1890-an - 1920-an

Penggambaran pertama kejadian-kejadian gaib dan supranatural muncul di beberapa film pendek bisu yang dibuat oleh pionir film seperti Georges Méliès (sineas asal Prancis) pada akhir 1890-an, dimana filmnya yang paling menonjol adalah Le Manoir du diable (BI: "Rumah Iblis") (1896) yang kadang-kadang disebut sebagai film horor pertama. [2] Proyek horornya yang lain adalah La Caverne maudite (alias "Gua Setan", BI: "Gua Terkutuk") (1898). [2] Jepang mengawali film ragam horornya dengan Bake Jizo dan Shinin no Sosei , keduanya dibuat tahun 1898. [3] Pada 1910, Edison Studio (sebuah perusahaan film Amerika Serikat) memproduksi versi film pertama Frankenstein, film tersebut sempat hilang selama bertahun-tahun, namun kolektor film bernama Felix Alois Dettlaff Sr menemukan sebuah salinan dan merilisnya pada tahun 1993. [4]
Awal abad ke-20 membawa banyak titik kemajuan dalam ragam horor, termasuk di sini adalah pertama kalinya sebuah sosok monster tampil di film-panjang horor, yaitu Quasimodo, si bungkuk dari Notre-Dame yang telah muncul di novel karya Victor Hugo, "Notre-Dame de Paris" (diterbitkan 1831). Film yang menampilkan Quasimodo antara lain film-film dari sineas Prancis Alice Guy seperti Esmeralda (1906), The Hunchback (1909), The Love of a Hunchback (1910) dan Notre-Dame de Paris (1911). [5]
'Film horor' sebagai fitur film pada awalnya banyak diciptakan oleh sineas Jerman di tahun 1910-an dan 1920-an, dalam era film Ekspresionis Jerman. Banyak dari film-film tersebut secara signifikan memengaruhi film-film Hollywood di kemudian hari, film besutan Paul Wegener berjudul The Golem (1915) adalah salah satunya. Pada tahun 1920, Robert Wiene menyutradarai The Cabinet of Dr Caligari, dengan gaya ekspresionisnya. Gaya ekspresionis tersebut akan memengaruhi banyak sineas, seperti Orson Welles sampai Tim Burton (dari Amerika Serikat), dan banyak lagi selama beberapa dekade. Era ekspresionis ini juga telah menghasilkan film fitur bertema vampir yang pertama, yaitu film Nosferatu karya FW Murnau tahun 1922, sebuah adaptasi yang tidak sah dari novel Dracula karya Bram Stoker.[6]
Perkembangan film horor diikuti di film drama Hollywood awal yang bereksperimen dengan tema horor, termasuk film versi Hollywood dari The Hunchback of Notre Dame (1923) dan film The Monster (1925), di mana keduanya dibintangi oleh Lon Chaney, Sr yang dikenal sebagai aktor film horor pertama di Amerika Serikat. Perannya yang paling terkenal adalah sebagai Phantom dalam film The Phantom of the Opera (1925).[7] Perkembangan selanjutnya diikuti oleh film-film horor dari perusahaan film Universal, yang kemudian mengikuti rilisnya film tersebut dengan film-film horor terkenal seperti Dracula (1931), Frankenstein (1931), The Mummy (1932), Bride of Frankenstein (1935), Werewolf of London (1935), Son of Frankenstein (1939), The Invisible Man (1933), The Wolf Man (1941), dan Creature from the Black Lagoon (1954). Dengan serombongan tokoh monsternya yang ikonik, perusahaan Universal akan menciptakan kesan mendalam di generasi penggemar film di seluruh dunia.

mp3

MP3

From Wikipedia, the free encyclopedia
Jump to: navigation, search
MPEG-1 or MPEG-2 Audio Layer III
Filename extension .mp3[1]
Internet media type audio/mpeg,[2] audio/MPA,[3] audio/mpa-robust[4]
Initial release 1993[5]
Type of format Audio compression format, audio file format
Standard(s) ISO/IEC 11172-3,[5]
ISO/IEC 13818-3[6]
MPEG-1 or MPEG-2 Audio Layer III,[4] more commonly referred to as MP3, is a patented digital audio encoding format using a form of lossy data compression. It is a common audio format for consumer audio storage, as well as a de facto standard of digital audio compression for the transfer and playback of music on digital audio players.
MP3 is an audio-specific format that was designed by the Moving Picture Experts Group (MPEG) as part of its MPEG-1 standard and later extended in MPEG-2 standard. The first MPEG subgroup – Audio group was formed by several teams of engineers at Fraunhofer IIS, University of Hannover, AT&T-Bell Labs, Thomson-Brandt, CCETT, and others.[7] MPEG-1 Audio (MPEG-1 Part 3), which included MPEG-1 Audio Layer I, II and III was approved as a committee draft of ISO/IEC standard in 1991,[8][9] finalised in 1992[10] and published in 1993 (ISO/IEC 11172-3:1993[5]). Backwards compatible MPEG-2 Audio (MPEG-2 Part 3) with additional bit rates and sample rates was published in 1995 (ISO/IEC 13818-3:1995).[6][11]
The use in MP3 of a lossy compression algorithm is designed to greatly reduce the amount of data required to represent the audio recording and still sound like a faithful reproduction of the original uncompressed audio for most listeners. An MP3 file that is created using the setting of 128 kbit/s will result in a file that is about 1/11 the size[note 1] of the CD file created from the original audio source. An MP3 file can also be constructed at higher or lower bit rates, with higher or lower resulting quality.
The compression works by reducing accuracy of certain parts of sound that are considered to be beyond the auditory resolution ability of most people. This method is commonly referred to as perceptual coding.[13] It uses psychoacoustic models to discard or reduce precision of components less audible to human hearing, and then records the remaining information in an efficient manner.

Contents

 [hide

[edit] History

[edit] Development

The MP3 lossy audio data compression algorithm takes advantage of a perceptual limitation of human hearing called auditory masking. In 1894, Alfred Marshall Mayer reported that a tone could be rendered inaudible by another tone of lower frequency.[14] In 1959, Richard Ehmer described a complete set of auditory curves regarding this phenomenon.[15] Ernst Terhardt et al. created an algorithm describing auditory masking with high accuracy.[16] This work added to a variety of reports from authors dating back to Fletcher, and to the work that initially determined critical ratios and critical bandwidths.
The psychoacoustic masking codec was first proposed in 1979, apparently independently, by Manfred R. Schroeder, et al.[17] from AT&T-Bell Labs in Murray Hill, NJ, and M. A. Krasner[18] both in the United States. Krasner was the first to publish and to produce hardware for speech (not usable as music bit compression), but the publication of his results as a relatively obscure Lincoln Laboratory Technical Report did not immediately influence the mainstream of psychoacoustic codec development. Manfred Schroeder was already a well-known and revered figure in the worldwide community of acoustical and electrical engineers, but his paper was not much noticed, since it described negative results due to the particular nature of speech and the linear predictive coding (LPC) gain present in speech. Both Krasner and Schroeder built upon the work performed by Eberhard F. Zwicker in the areas of tuning and masking of critical bands,[19][20] that in turn built on the fundamental research in the area from Bell Labs of Harvey Fletcher and his collaborators.[21] A wide variety of (mostly perceptual) audio compression algorithms were reported in IEEE's refereed Journal on Selected Areas in Communications.[22] That journal reported in February 1988 on a wide range of established, working audio bit compression technologies, some of them using auditory masking as part of their fundamental design, and several showing real-time hardware implementations.
The immediate predecessors of MP3 were "Optimum Coding in the Frequency Domain" (OCF),[23] and Perceptual Transform Coding (PXFM).[24] These two codecs, along with block-switching contributions from Thomson-Brandt, were merged into a codec called ASPEC, which was submitted to MPEG, and which won the quality competition, but that was mistakenly rejected as too complex to implement. The first practical implementation of an audio perceptual coder (OCF) in hardware (Krasner's hardware was too cumbersome and slow for practical use), was an implementation of a psychoacoustic transform coder based on Motorola 56000 DSP chips.
As a doctoral student at Germany's University of Erlangen-Nuremberg, Karlheinz Brandenburg began working on digital music compression in the early 1980s, focusing on how people perceive music. He completed his doctoral work in 1989.[25] MP3 is directly descended from OCF and PXFM, representing the outcome of the collaboration of Brandenburg - working as a postdoc at AT&T-Bell Labs with James D. (JJ) Johnston of AT&T-Bell Labs - with the Fraunhofer Institut for Integrated Circuits, Erlangen, with relatively minor contributions from the MP2 branch of psychoacoustic sub-band coders. In 1990, Brandenburg became an assistant professor at Erlangen-Nuremberg. While there, he continued to work on music compression with scientists at the Fraunhofer Society (in 1993 he joined the staff of the Fraunhofer Institute).[25]
The song Tom's Diner by Suzanne Vega was the first song used by Karlheinz Brandenburg to develop the MP3. Brandenburg adopted the song for testing purposes, listening to it again and again each time refining the scheme, making sure it did not adversely affect the subtlety of Vega's voice.

[edit] Standardization

In 1991, there were only two. proposals available that could be completely assessed for an MPEG audio standard: Musicam (Masking pattern adapted Universal Subband Integrated Coding And Multiplexing) and ASPEC (Adaptive Spectral Perceptual Entropy Coding). The Musicam technique, as proposed by Philips (the Netherlands), CCETT (France) and Institut für Rundfunktechnik (Germany) was chosen due to its simplicity and error robustness, as well as its low computational power associated with the encoding of high quality compressed audio.[26] The Musicam format, based on sub-band coding, was the basis of the MPEG Audio compression format (sampling rates, structure of frames, headers, number of samples per frame).
Much of its technology and ideas were incorporated into the definition of ISO MPEG Audio Layer I and Layer II and the filter bank alone into Layer III (MP3) format as part of the computationally inefficient hybrid filter bank. Under the chairmanship of Professor Musmann (University of Hannover) the editing of the standard was made under the responsibilities of Leon van de Kerkhof (Layer I) and Gerhard Stoll (Layer II).
ASPEC was the joint proposal of AT&T Bell Laboratories, Thomson Consumer Electronics, Fraunhofer Society and CNET.[27] It provided the highest coding efficiency.
A working group consisting of Leon van de Kerkhof (The Netherlands), Gerhard Stoll (Germany), Leonardo Chiariglione (Italy), Yves-François Dehery (France), Karlheinz Brandenburg (Germany) and James D. Johnston (USA) took ideas from ASPEC, integrated the filter bank from Layer 2, added some of their own ideas and created MP3, which was designed to achieve the same quality at 128 kbit/s as MP2 at 192 kbit/s.
All algorithms for MPEG-1 Audio Layer I, II and III were approved in 1991[8][9] and finalized in 1992[10] as part of MPEG-1, the first standard suite by MPEG, which resulted in the international standard ISO/IEC 11172-3 (a.k.a. MPEG-1 Audio or MPEG-1 Part 3), published in 1993.[5] Further work on MPEG audio[28] was finalized in 1994 as part of the second suite of MPEG standards, MPEG-2, more formally known as international standard ISO/IEC 13818-3 (a.k.a. MPEG-2 Part 3 or backwards compatible MPEG-2 Audio or MPEG-2 Audio BC[11]), originally published in 1995.[6][29] MPEG-2 Part 3 (ISO/IEC 13818-3) defined additional bit rates and sample rates for MPEG-1 Audio Layer I, II and III. The new sampling rates are exactly half that of those originally defined for MPEG-1 Audio. MPEG-2 Part 3 also enhanced MPEG-1's audio by allowing the coding of audio programs with more than two channels, up to 5.1 multichannel.[28] There is also MPEG-2.5 audio, a proprietary unofficial extension developed by Fraunhofer IIS. It enables MP3 to work satisfactorily at very low bitrates and added lower sampling frequencies.[30][31] MPEG-2.5 wa

degung

Degung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Degung adalah kumpulan alat musik dari sunda.
Ada dua pengertian tentang istilah degung:
Degung sebagai unit gamelan dan degung sebagai laras memang sangat lain. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: (mi) 2 – (la) 5) dan degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti).

Daftar isi

 [sembunyikan

[sunting] Gamelan Degung

Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyaraka dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabuki Bandung. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.
Ada gamelan yang sudah lama terlupakan yaitu KOROMONG yang ada di Kp. Lamajang Desa Lamajang Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Gamelan ini sudah tidak dimainkan sejak kira-kira 35 - 40 tahun dan sudah tidak ada yang sanggup untuk menabuhnya karena gamelan KOROMONG ini dianggap mempunyai nilai mistis. Gamelan KOROMONG ini sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik. Untuk supaya gamelan KOROMONG ini dapat ditabuh, maka kata yang memegang dan merawat gamelan tersebut harus dibuat Duplikatnya.

[sunting] Sejarah

Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (17911828).

[sunting] Perkembangan

Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (19121920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.

rege

Reggae

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Reggae adalah suatu aliran musik yang awalnya dikembangkan di Jamaika pada akhir era 60-an. Sekalipun kerap dipergunakan secara luas untuk menyebut hampir segala jenis musik Jamaika, istilah reggae lebih tepatnya merujuk pada gaya musik khusus yang muncul mengikuti perkembangan ska dan rocksteady.
Reggae berbasis pada gaya ritmis yang bercirikan aksen pada off-beat atau sinkopasi, yang disebut sebagai skank. Pada umumnya reggae memiliki tempo lebih lambat daripada ska maupun rocksteady. Biasanya dalam reggae terdapat aksentuasi pada ketukan kedua dan keempat pada setiap bar, dengan gitar rhythm juga memberi penekanan pada ketukan ketiga; atau menahan kord pada ketukan kedua sampai ketukan keempat dimainkan. Utamanya "ketukan ketiga" tersebut, selain tempo dan permainan bassnya yang kompleks yang membedakan reggae dari rocksteady, meskipun rocksteady memadukan pembaruan-pembaruan tersebut secara terpisah.

[sunting] Reggae di Indonesia

Beberapa nama yang terkenal dalam dunia musik Reggae dan sub-ragamnya Indonesia antara lain D'riie Ambazsador,Tony Q Rastafara, Souljah, Ras Muhamad, Joni Agung (Bali), New Rastafara,Songket Reggae (yogyakarta),Marasta (Yogyakarta),Mbah Surip (Mojokerto)dan Marapu (Yogyakarta/Waingapu Sumba NTT) Selain itu ada juga grup reggae Coconut Head yang berasal dari Medan. Band reggae ini termasuk band pertama yang menggunakan nama "Coconut Head" di seluruh dunia.
Sekitar tahun 1986 musik Reggae mulai dikumandangkan di Indonesia, band tersebut adalah barbet comunity, Black Company sebuah band dengan genre Reggae, beberapa tahun kemudian muncul Asian Roots yang merupakan turunan dari band sebelumnya, kemudian ada Asian Force dan Abresso, Jamming.
[[af:Reggae]dgae]]

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost
Free Tail 2 Cursors at www.totallyfreecursors.com
Free Dance Dance Revolution 8 Cursors at www.totallyfreecursors.com